Nurcholish Madjid Dan Sekularisasi
Secara etimologi Seculer dari bahasa latin yang berarti saeculum, yang memiliki dua makna yaitu Time (masa) dan Location (tempat). Sekuler dalam pengertian waktu menunjukan kepada ”sekarang” dan dalam pengertian ruang berarti ”dunia atau duniawi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sekuler diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti membawa kearah kecintaan kepada kehidupan dunia, norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran agama; pengambilalihan bangunan bangunan atau barang-barang milik yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara dan digunakan untuk keperluan lain.
Syafiq Nazira |
Sekularisasi diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara, atau lebih luas politik, dan urusan agama; atau pemisahan antara urusan duniawi dan akhirat. Sekularisasi sebagaimana telah berkembang dalam sejarah menunjukkan arah perubahan atau pergeseran dari hal-hal yang bersifat adikodrati (di luar kodrat), teologis menjadi hal-hal yang bersifat alamiah (kodrati) dan ilmu pengetahuan. Sekularisasi adalah suatu kecenderungan melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekinian, dengan cara-cara yang rasional, maupun empiris, seperti ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa sekuler berarti duniawi, sehingga yang disebut sekuler adalah yang bersifat keduniaan. Artinya masalah dunia tetap dijadikan masalah dunia dan masalah agama (akhirat) tetap dijadikan masalah agama. Dengan demikian, sekular adalah sifat melepaskan hal-hal yang bersifat keduniaan dari agama. Untuk itu diperlukan proses. Proses itulah yang disebut ”sekularisasi”.
Sekularisasi Nurcholish Madjid
Gagasan sekularisasi dan sekularisme di Indonesia sulit dilepaskan dari nama Nurcholish Madjid atau dikenal sebagai Cak Nur, yang pada tanggal 3 Januari 1970 meluncurkan gagasannya dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58. Dalam pandangan Nurcholish, sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari pengertian religius. Begitu pula desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap semua selain Tuhan; sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan pada hakikatnya adalah syirik, yang merupakan lawan dari tauhid. Maka semua objek yang selama ini dianggap sakral tersebut merupakan objek yang harus didesakralisasikan.
Ide-Ide Dasar
Terdapat beberapa ide-ide dasar yang pernah dilontarkan oleh Nurcholish Madjid.
- Urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Manusia di beri wewenang penuh untuk memahami dunia ini.
- Akal pikiran adalah alat manusia untuk memahami dan mencari pemecahan masalah-masalah duniawi.
- Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisme.
- Terdapat pula konsistensi antara rassionalisasi dan desakrilisasi (desakralisasi sama dengan sekularisasi dalam memandang yang sakral bukan lagi sakral).
- Membedakan antara Hari Dunia dan Hari Agama. Pada Hari Dunia yang berlaku adalah hukum kemasyarakatan manusia dan pada Hari Agama yang berlaku hukum ukhrawi.
- Bismillah artinya Atas Nama Tuhan dan bukan Dengan Nama Allah.
- Al-Rahman sifat kasih Tuhan di dunia dan Al-Rahim kasih Tuhan di akhirat.
- Dimensi kehidupan duniawi adalah ‘ilmi dan kehidupan spiritual adalah ukhrawi.
- Islam adalah din, din adalah agama dan agama tidak bersifat ideologis politis, ekonomis, sosiologis, dan sebaginya.
- Apa yang disebut negara Islam (Khilafah) tidak ada.
Dari beberapa ide itu dapat ditarik kesimpulan bahwa paham sekularisasi yang dibawa Nurcholis Madjid telah sampai di tingkat pemisahan dunia dari akhirat, soal dunia adalah soal dunia dan soal akhirat adalah soal akhirat. Antara kedua bentuk ini terdapat garis pemisah yang jelas. Ide-ide pembaruan sebelumya belum pernah membuat garis pemisah demikian: hidup ukhrawi dipandang sebagai lanjutan dari hidup duniawi. Tidak begitu jelas apakah sekularisasi yang dianjurkan oleh Nurcholish itu mengandung arti melepaskan diri bukan hanya dari ikatan tradisi yang tumbuh dalam islam ataukah juga melepaskan diri dari dogma-dogma agama yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadist itu.
Antara Sekularisme dan Sekularisasi
Sekularisme itu anti agama tapi sekularisasi itu netral agama. Sekularisme itu sendiri untuk mencapainya memerlukan sekularisasi (sebagai proses pendekatan), dia bersikap tidak senang terhadap sekularisasi, karena keterbukaan dan kebebasan yang diberikan oleh sekularisasi itu bagi pencaharian ”hakikat” lebih lanjut beyond this worl and this time. Sekularisasi tidak menghalangi kita untuk mencari kemungkinan adanya atau menganut adanya signifikansi lain dari realitas, selain atau berbeda dari yang dapat diukur dengan metode ilmu pengetahuan alam.
Sekularisasi itu adalah opened process sedang sekularisme adalah closed system. Sekularisasi yang dilembari oleh pemahaman bahwa tidak ada nilai yang tetap dan yang tetap hanya Tuhan (iman dan taqwa) akan melahirkan “God without religion”. Dengan sekularisasi berarti bahwa kita betul-betul memahami tanggungjawab kita sebagai khalifahtullah fil ardhi hanya dengan demikian akan terlihat bahwa telah terjadi partnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah (partnership of God andman in history).
Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu, Nurcholish Madjid bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional. Parameter yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang “Islami” sering kali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan. Sehingga Islam disejajarkan dengan tradisi, dan menjadi Islami disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena itu membela Islam sama dengan membela tradisi, sehingga sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Pandangan-pandangan para pemimpin Islam yang seperti ini menurut Nurcholish Madjid telah menyebabkan mereka kurang memberikan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia saat ini khususnya di Indonesia.
Lebih jauh Nurcholish Madjid menjelaskan tentang ini dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalisasi adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Ia menganjurkan setiap orang Muslim bersikap rasional dan melarang untuk tidak menjadi rasionalis.
Tentang sekularisasi perlu di ingat bahwa disukai atau tidak, proses sekularisasi mesti terjadi. Sekularisasi merupakan proses sosiologis yang tidak bisa dicegah andai kata kita suka dan merupakan proses yang pasti datang sendiri andai kata kita memang mengharapkannya. Karena itu tugas para pimpinan umat beragama yang menentang ataupun yang membenarkan adalah merebut inisiatif dalam mengarahkan dan mengisi jiwa manusia dalam jalannya proses itu, dalam hal ini berupa pembaharuan-pembaharuan dalam pemikiran teologi dan rumusan-rumusan fiqh dan ushul fiqh yang ada kini, interpretasi tentang manusia, pengaturan upacara-upacara keagamaan dan lain-lain agar bisa lebih menyentuh hati manusia, terangkat daya gugahnya dan memiliki daya kontrol yang wajar dalam kehidupan pribadi manusia. Sampai kini pengertian dan konsepsi sekularisasi masih terlalu apologis. Karena sekularisasi merupakan proses sosiologis, maka dia tidak akan lepas dari pengaruh “situasi-situasi khusus” di mana dia timbul dan berproses.
Dengan demikian, sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksisitensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Dari sinilah timbul kemudian timbul pemikiran tetang perlunya sekularisasi dalam pengertian “pemisahan”. Yakni upaya pemisahan antara wilayah agama atau keyakinan dengan politik (negara), antara dimensi sakralitas dengan ilmu pengetahuan.
Sumber:
Syafiq Nazira - Kabid PTKP HMI FIS UINSU 21-22 (Penulis)